Sejarah Munculnya Teologi Islam

Sejarah Munculnya Teologi Islam

Sejarah munculnya teologi islam tidak terlepas dari persoalan politik yang muncul selepas wafatnya Rasulullah saw. Sejarah meriwayatkan bahwa abu bakar terpilih setelah disetujui oleh masyarakat islam kala itu menjadi pengganti rasulullah dalam mengepalai Negara. Kemudian setelah Abu Bakar wafat perannya digantikan oleh Umar ibn Khattab, dan setelah Umar wafat digantikan oleh Usman bin ‘Affan.

Pada masa pemerintahan Usman inilah mulai muncul persoalan politik disebabkan tindakan usman yang lebih mementingkan keluarga untuk jabatan penting di pemerintahannya. Ahli sejarah menggambarkan usman sebagai orang yang tak sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya raya dan berpengaruh. Di Mesir salah satu contohnya, gubernur sebelumnya yakni Umar ibn al-As adalah gubernur yang dipilih langsung oleh khalifah umar ibn Khattab harus digantikan oleh Abdullah ibn Sa’d ibn Sarh.  Dengan tindakan tindakan politik yang dijalankan ini Usman bin Affan mulai kehilangan kepercayaan dari para sahabat nabi yang selama ini mendukungnnya. Sebagai  akibat dari kebijakan politiknya muncullah pemberontakan dari Mesir, hingga akhirnya Usman terbunuh oleh para pemberontak tersebut.

Setelah Usman wafat Ali bin Abi Thalib muncul sebagai calon terkuat sebagai penggantinya. Namun penolakan muncul dari para pemuka yang ingin menjadi khalifah terutama Talhah dan Zubeir yang mendapat dukungan dari Aisyah. Situasi ini mengakibatkan pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. pertempuran ini pun dimenangkan Ali dengan terbunuhnya Talhah dan Zubeir. Tak sampai disitu saja penolakan selanjutnya datang dari Muawiyyah, gubernur Damaskus yang merupakan salah satu keluarga terdekat Usman. Sebagaimana yang dilakukan oleh Talhah dan Zubeir ia tak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Ia juga menuntut kepada Ali untuk menghukum para pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur soal pembunuhan itu. (Tarikh al-Tabari, 1963:7). Karena salah satu pemuka pemberontak kala itu adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali bin Abi Thalib. (Tarikh al-Tabari, 1963: jilid IV hlm.353). Ali pun tidak mengambil tindakan tegas terhadap para pemberontak itu, bahkan Muhammad Ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir.

Akhirnya terjadilah pertempuran antara pendukung Ali dan Muawiyyah di Siffin, dalam pertempuran ini pasukan Ali berhasil mengalahkan pasukan Muawiyyah, namun ‘tangan kanan’ Muawiyah yakni Amr Ibn al-As yang terkenal pandai bernegosiasi meminta berdamai dengan mengangkat Al Quran ke atas. Qurra’ yang ada di pasukan Ali mendesak supaya menerima tawaran itu untuk diadakan perundingan diantara kedua belah pihak. Maka Amr ibn al-As dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al Asy’ari dari pihak Ali mulai melakukan perundingan. Sejarah mencatat antara keduanya terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan yakni Ali dan Muawiyah. Namun ketika mengumumkan hasil perundingan Amr bin al-As hanya menyetujui dalam penjatuhan Ali, padahal sebelumnya Abu Musa telah mengumumkan untuk menjatuhkan kedua belah pihak baik Ali maupun Muawiyah.

Seperti yang telah disebutkan diawal persoalah teologi Islam tidak terlepas dari persoalan politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw. Sikap Ali ketika menerima permintaan perundingan dari Amr Ibn al-As, meskipun dalam keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian pendukungnya. Mereka berpendapat bahwa hal semacam itu tidak dapat diputuskan oleh perundingan manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang ada dalam Al Quran.

Mereka memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal dengan nama Al Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena memandang Ali telah berbuat salah dan dosa, mereka akhirnya berbalik melawan Ali.

Persoalan-persoalan politik yang terjadi di antara kaum muslimin inilah yang menjadi penyebab timbulnya persoalan-persoalan teologi. Yakni siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih tetap dalam Islam.

Khawarij memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari dan yang lainnya yang menerima usulan perundingan (arbitrase) adalah kafir, karena dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 44 menjelaskan:

إنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلا تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)

Sesungguhnya Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah: 44)

Dari ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah (tidak ada hukum selain dari Allah). Karena keempat pemuka Islam tersebut telah dipandang kafir dalam arti telah keluar dari Islam atau murtad maka mereka harus dibunuh. Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi menurut sejarah hanya Ali bin Abi Thalib lah yang terbunuh.

Lambat laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak menentukan hukum dengan Al Quran, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga dipandang kafir. Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian mempunyai pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Yakni masihkah ia dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena berbuat dosa besar itu.

Persoalan tersebut menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran khawarij yang menganggap bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir dalam arti keluar dari Islam atau murtad, oleh karena itu ia wajib dibunuh. Aliran kedua yaitu aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar tetap masih mukmin dan bukan kafir. Adapun mengenai dosa yang dilakukannya, terserah kepada Allah swt untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Aliran yang ketiga yakni kaum Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan pula mukmin. Dengan kata lain mengambil posisi diantara mukmin dan kafir atau almanzilah bain al-manzilatain.

Selain itu muncul pula dalam Islam aliran teologi yang dikenal dengan al qadariah dan al jabariah. Aliran qadariah adalah aliran yang menganggap bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya atau free will dan free act. Sementara jabariah adalah aliran yang menganggap bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala perbuatannya, menurut paham jabariah, bertindak dengan kehendak tuhan atau disebut predestination.

Perkembangan selanjutnya, pada masa dinasti bani Abbasiyyah buku-buku filsafat dan ilmu pengetahuan dari Yunani banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan banyaknya buku terjemahan dari Yunani menjadikan aliran Mu’tazilah terpengaruh oleh pemakaian rasio atau akal dalam paham teologinya, karena rasio atau akal mempunyai kedudukan yang tinggi dalam kebudayaan Yunani kuno. Sehingga aliran Mu’tazilah mengambil corak teologi liberal, namun meskipun aliran Mu’tazilah banyak menggunakan rasio, mereka tidak meninggalakan wahyu. Dengan demikian jika dikaitkan dengan paham qadariah dan jabariah, maka aliran Mu’tazilah juga mengambil paham qadariah, karena aliran Mu’tazilah percaya pada kekuatan dan kemerdekaan akal untuk berpikir dan berkehendak.

Aliran Mu’tazilah yang bercorak liberal ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional Islam, terutama golongan Hambali, pengikut dari mazhab Ibn Hambal. Pelawanan tersebut kemudian melahikan bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu Hasan Al Assy’ari (935). Al Assy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah, tetapi kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al-Assy’ari meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran baru yang terkenal dengan nama teologi al Asy’ariah.

Disamping aliran Asy’ariah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur  Muhammad al Maturidi. Alian ini kemudian dikenal dengan nama teologi al Maturidiah. Aliran Maturidiah tidaklah setradisional aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula bersifat seliberal Mu’tazilah. Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang Samarkand yang bersifat agak liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisional.

Dengan demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan keduanya disebut Ahl Sunnah wa al Jamaah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh ummat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya dipakai oleh umat sunni lainnya.

Ingredients:
Al Qur’anul Karim

Harun Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah dan analisa perbandingan Cet. 5 (Jakarta: UI Press, 2012)

Asas Legalitas dalam Hukum Islam & Hukum Positif

Asas Legalitas dalam Hukum Islam & Hukum Positif

Nullum Delictum Nulla Poena Sine Prae Via Lege, merupakan pepatah latin dari Von Feurbach, seorang pakar hukum pidana asal Jerman yang ditulis dalam bukunya Lehrbuch Des Peinlinchen Recht. Nullum Delictum Nulla Poena Sine Prae Via Lege memiliki arti tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa ada peraturan terlebih dahulu. Dalam bahasa Belanda terkenal dengan istilah ‘geen straf zonder schuld’ atau tiada pidana tanpa kesalahan atau terkenal dengan nama Asas Legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. (Pipin Syarifin, 2000: 27)

Asal Legalitas mengandung 3 pengertian yaitu:
1.  Tidak ada perbuatan yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.      Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
3.      Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.

Dari ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa pidana yang bersangkutan harus ditentukan serta dicantumkan dalam undang-undang. Akibat Asas Legalitas ini, seseorang dapat dihukum apabila ia melakukan suatu perbuatan yang oleh hukum dan peraturan telah disebut secara tegas sebagai pelanggaran ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang melakukan suatu perbuatan yang pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi karena tidak disebutkan oleh hokum sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, ia menjadi tidak terhukum.

Tanpa kita sadari asas legalitas ini ternyata telah jauh ada sebelumnya sejak diturunnya Al Qur’an kepada Rasulullah saw. Berikut ayat-ayat yang menyiratkan asa legalitas dalam Al Qur’an:

Surat Al Isra’ ayat 15

مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا (١٥)

Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah (Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri; dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian) dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain, dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.

Surat Al Qashash ayat 59

وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا مُهْلِكِي الْقُرَى إِلا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ (٥٩)

Dan tiadalah Tuhanmu membinasakan kota-kota, sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota; kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.

Surat Al An’am ayat 19

قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لا أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (١٩)

Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran (kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah: "Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".

Ayat-ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa tidak ada azab atau jarimah (tindak pidana), kecuali sudah ada penjelasan, dan tidak ada hukuman kecuali sudah ada pemberitahuan. 

Berdasarkan ketentuan ayat-ayat tersebut, para ahli hukum membuat kaidah yang berbunyi:

1.      Sebelum ada ketentuan nash, tak ada hukum bagi perbuatan orang-orang berakal.
2.      Pada asalnya semua perkara dan semua perbuatan diperbolehkan. (Marsum, 1979: 49).

Dari kedua kaidah tersebut, dapat dipahami bahwa perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak dipandang sebagai jarimah, kecuali bila ada nash yang jelas melarang perbuatan tersebut dan sikap tidak berbuat itu. Apabila tidak ada nash seperti itu, tidak ada tuntutan atau hukuman terhadap pelakunya. Dengan demikian dapat disimpulkan dari kedua kaidah tersebut bahwa tidak ada jarimah dan hukuman, kecuali dengan suatu nash.

Asas legalitas pada hukum pidana Islam sudah ada sejak Al Qur’an diturunkan kepada Nabi Muhammad saw. Jadi asas ini telah mendahului hukum positif yang baru dikenal pada abad ke 18 M, yaitu sesudah revolusi Perancis. Asas ini kemudian dimasukkan dalam “pernyataan hak-hak manusia” yang dikeluarkan pada tahun 1789 dan kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Sebelumnya hakim-hakim mempunyai kekuatan besar. Mereka dapat menganggap suatu perbuatan sebagai pidana meskipun undang-undang tidak melarangnya, sehingga kekuasaan yang semena-mena dan mutlak ini menjadi salah satu faktor pecahnya revolusi.

Sesudah revolusi asas legalitas diterapkan pada hukum Perancis. Asas ini kemudian diikuti oleh Negara-negara lain. Pada mulanya asas legalitas yang diterapkan pada hukum Perancis ini teliti sekali, yaitu tiap-tiap perbuatan pidana memiliki undang-undang dan telah ditentukan hukumnya. Kekuatan hakim tidak lebih mengucapkan keputusan hukuman. Penguasa eksekutif juga tidak berkuasa memberikan ampunan atau mengurangi hukuman, kekuasaannya hanya terbatas pada pelaksanaan hukuman. Penguasa perundang-undanganlah yang berkuasa, mereka mengambil sistem batas tertinggi dan terendah pada tiap-tiap hukuman yang boleh dipilih oleh hakim atau dijatuhkan keduanya. Namun karena pengalaman dan kebutuhan masyarakat, cara penerapan asas legalitas itu menjadi berkembang, yaitu memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menghentikan pelaksanaan hukuman. Pengasa eksekutif juga diberi kekuasaan untuk memberi ampunan, mengurangi, dan memberikan si-terhukum dengan syarat-syarat tertentu. Asas legalitas masih dijunjung tinggi, tetapi perluasan dalam cara menjatuhkan hukuman yang sesuai tetap diperbolehkan.

Sejak permulaan abad ke 20 M, asas legalitas mulai dikritik oleh para pakar hukum, dengan alas an bahwa asas tersebut tidak mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan masyarakat, bahkan dapat mengorbankan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal didalamnya tidak mampu menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengganggu ketertiban masyarakat, karena orang-orang yang melanggar hukum mempunyai macam-macam cara untuk menghindar dari ketentuan hukum. Untuk itu, perlu dibuat undang-undang baru untuk melindungi masyarakat dari kejahatannya.

Kritik terhadap asas legalitas ini mempunyai pengaruh yang cukup besar sehingga sistem hukum pidana Jerman sejak tahun 1935 memberi kekuasaan kepad hakim untuk mengnggap suatu perbuatan sebagai pidana jika perbuatan itu merugikan masyarakat jerman. Sejak tahun 1926 sistem hukum pidan Rusia tidak lagi memakai asas legalitas, sedangkan sistem hukum pidana Denmark membolehkan hakim untuk menjatuhkan hukuman terhadap suatu perbuatan yang dipersamakan dengan perbuatan yang dilarang. Dan sistem hukum pidan Inggris memakai cara yang mirip dengan sistem ta’zir dalam masyarakat islam, yaitu tidak terikat kuat oleh asas legalitas.

Pada akhirnya para ahli hukum pidana memandang bahwa dalam menentukan jenis pidana, tidak perlu menyebut tiap-tiap pidana secara terperinci. Tetapi cukup dengan menyebutkan penentuan secara umum terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang. Sehingga satu ketentuan dapat mencakup lebih dari satu pidana dan si pelaku tidak dapat lepas dari ketentuan pidana yang bersifat elastis.

Dalam menentukan hukumannya, cukup dengan menyebutkan hukuman tertinggi sehingga hakim mempunyai kekuasaan luas dalam menjatuhkan hukuman. Negara Indonesia juga mengikuti asas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP.

Dalam hukum pidana Islam, ada tiga cara dalam menerapkan asas, legalitas yaitu:        
1.  Pada jarimah-jarimah yang gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan ketentraman masayarakat, yaitu jarimah-jarimah hudud, dan qisas diyat, asas legalitas dilaksanakan teliti sekali, sehingga tiap-tiap jarimah hukumannya dicantumkan satu-satu.
2.      Pada jarimah-jarimah yang tidak begitu berbahyaa, yaitu jarimah-jarimah ta’zir pada umumnya, syara’ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas dari segi hukuman, dan untuk hukuman jarimah-jarimah tersebut syara’ hanya menyediakan sejunlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu hukuman yang sesuai bagi peristiwa pidana yang dihadapinya.
3.      Pada jarimah-jarimah ta’zir yang diancamkan hukuman untuk kemaslahatan umum, syara’ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legaliatas dari segi penentuan macamnya jarimah, karena syari’ah hanya membuat nash (ketentuan) umum yang dapat mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan ketentraman masyarakat. (Ahmad Hanafi, 1986: 77-78).

Adapun dalam hukum pidana positif cara penerapan asas legalitas untuk semua pidana adalah sama (kaidah pertama), namun hal ini menyebabkan para hakim tidak mau menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan pidana yang ringan setelah mereka mengingat aturan-aturan pidana yang termasuk kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan demikian, hukum pidana positif menggunakan kaidah kedua, yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam memilih hukuman dan dalam menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan secara umum.

Dari ketentuan di atas persamaan hukum pidana islam dengan hukum pidana positif yakni dalam memegang prinsip, yaitu tidak ada jarimah dan tidak ada hukuman, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam nash (undang-undang).

Perbedaan dari keduanya terdapat dari segi hukuman, hukum pidana islam menentukan jenis hukuman secara jelas (diterangkan dalam Al Qur’an), dalam hal ini hakim tidak mungkin menciptakan hukuman dari diri sendiri, sedangkan pada hukum pidana positif, tiap perbuatan pidana disediakan satu atau dua macam hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendah sehingga hakim dapat menjatuhkan dua hukuman atau satu hukuman yang tereletak antara kedua batas tersebut. Dari segi penerapannya, asas legalitas pada hukum pidana islam telah ditetapkan sejak Al Quran diturunkan, sedangkan asa legalitas pada hukum pidana positif diterapkan pada abad ke-18, yaitu sesudah revolusi Prancis.
  
Ingredients:
Al Qur’anul Karim
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia (Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet. 3 (Jakarta: Bulan Bintang,1986)
Marsum, Jinayat (Yogyakarta: Bagian Penerbit Fakultas Hukum UII, 1979)




Ayat Ayat Ahkam: Sebab - Sebab Putusnya Perkawinan



Ayat Ayat Ahkam: Sebab - Sebab Putusnya Perkawinan

Ayat Ayat Ahkam adalah ayat - ayat yang membahas tentang hukum - hukum Allah swt dalam Al Quran. Pada kesempatan kali ini ayat ayat ahkam yang akan kami share adalah ayat ayat yang membahas tentang sebab - sebab putusnya perkawinan. Tulisan ini hanya akan memberikan dalil-dalil Al Quran tentang sebab - sebab putusnya perkawinan, hanya lafadz dan artinya bukan disertai tafsirnya. Berikut ayat - ayat yang membahas tentang sebab - sebab putusnya perkawinan dalam Al Qur’an:
Dalam Hukum Islam sebab - sebab putusnya perkawinan dapat terjadi karena talaq, khulu’, zhihar, ilâ’, dan li’ân.

1.      TALAQ


Talak adalah menghilangkan ikatan perkawinan atau mengurangi pelepasan ikatannya dengan menggunakan kata-kata tertentu seperti talak, firaq, dan sarah. Dalil-dalil tentang talak sebagai berikut:

Surat Al Ahzab Ayat 49


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نَكَحْتُمُ الْمُؤْمِنَاتِ ثُمَّ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ فَمَا لَكُمْ عَلَيْهِنَّ مِنْ عِدَّةٍ تَعْتَدُّونَهَا فَمَتِّعُوهُنَّ وَسَرِّحُوهُنَّ سَرَاحًا جَمِيلا (٤٩)

Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan- perempuan yang beriman, kemudian kamu mentalak (menceraikan) mereka sebelum kamu mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.

Surat Al Baqarah 231


وَإِذَا طَلَّقْتُمُ النِّسَاءَ فَبَلَغْنَ أَجَلَهُنَّ فَأَمْسِكُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ أَوْ سَرِّحُوهُنَّ بِمَعْرُوفٍ وَلا تُمْسِكُوهُنَّ ضِرَارًا لِتَعْتَدُوا وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَقَدْ ظَلَمَ نَفْسَهُ وَلا تَتَّخِذُوا آيَاتِ اللَّهِ هُزُوًا وَاذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ وَمَا أَنْزَلَ عَلَيْكُمْ مِنَ الْكِتَابِ وَالْحِكْمَةِ يَعِظُكُمْ بِهِ وَاتَّقُوا اللَّهَ وَاعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ (٢٣١)

Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka dengan cara yang ma'ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma'ruf (pula). janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu Menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, Maka sungguh ia telah berbuat zalim terhadap dirinya sendiri. janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah permainan, dan ingatlah nikmat Allah padamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu Yaitu Al kitab dan Al Hikmah (As Sunnah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.

Surat Al Baqarah 230


فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا تَحِلُّ لَهُ مِنْ بَعْدُ حَتَّى تَنْكِحَ زَوْجًا غَيْرَهُ فَإِنْ طَلَّقَهَا فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا أَنْ يَتَرَاجَعَا إِنْ ظَنَّا أَنْ يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ يُبَيِّنُهَا لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (٢٣٠)

Kemudian jika si suami mentalaknya (sesudah Talak yang kedua), Maka perempuan itu tidak lagi halal baginya hingga Dia kawin dengan suami yang lain. kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, Maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan isteri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui.

2.      KHULU’

Khulu’ adalah perceraian dengan disertai dengan sejumlah harta sebagai iwadh (tebusaan) yang diberikan oleh istri kepada suami untuk menebus diri agar terlepas dari ikatan perkawinan baik dengan kata khulu’, mubâra’ah, maupun talak. Dalilnya yakni:

Surat Al Baqarah Ayat 229


الطَّلاقُ مَرَّتَانِ فَإِمْسَاكٌ بِمَعْرُوفٍ أَوْ تَسْرِيحٌ بِإِحْسَانٍ وَلا يَحِلُّ لَكُمْ أَنْ تَأْخُذُوا مِمَّا آتَيْتُمُوهُنَّ شَيْئًا إِلا أَنْ يَخَافَا أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَإِنْ خِفْتُمْ أَلا يُقِيمَا حُدُودَ اللَّهِ فَلا جُنَاحَ عَلَيْهِمَا فِيمَا افْتَدَتْ بِهِ تِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ فَلا تَعْتَدُوهَا وَمَنْ يَتَعَدَّ حُدُودَ اللَّهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٢٢٩)

Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu mengambil kembali sesuatu dari yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh isteri untuk menebus dirinya Itulah hukum-hukum Allah, Maka janganlah kamu melanggarnya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah mereka Itulah orang-orang yang zalim.

An Nisa’ Ayat 4


وَآتُوا النِّسَاءَ صَدُقَاتِهِنَّ نِحْلَةً فَإِنْ طِبْنَ لَكُمْ عَنْ شَيْءٍ مِنْهُ نَفْسًا فَكُلُوهُ هَنِيئًا مَرِيئًا (٤)

Berikanlah maskawin (mahar) kepada wanita (yang kamu nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. kemudian jika mereka menyerahkan kepada kamu sebagian dari maskawin itu dengan senang hati, Maka makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya.

3.      ZHIHAR


Zhihar adalah perkataan seorang suami kepada istrinya sepert “punggungmu haram bagiku seperti punggung ibuku” atau perkataan lain yang sama maksudnya. Zhihar menjadi adat kebiasaan bagi orang Arab Jahiliyah bahwa bila suami berkata demikian kepada istrinya, maka istrinya itu haramnya baginya untuk selama-lamanya. Tetapi setelah Islam datang, maka yang haram untuk selama-lamanya itu dihapuskan dan istri-istri itu kembali halal baginya dengan membayar kaffarat (denda). Dalil tentang zhihar:

Surat Al Mujadilah Ayat 2 - 4


الَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْكُمْ مِنْ نِسَائِهِمْ مَا هُنَّ أُمَّهَاتِهِمْ إِنْ أُمَّهَاتُهُمْ إِلا اللائِي وَلَدْنَهُمْ وَإِنَّهُمْ لَيَقُولُونَ مُنْكَرًا مِنَ الْقَوْلِ وَزُورًا وَإِنَّ اللَّهَ لَعَفُوٌّ غَفُورٌ (٢)

Orang-orang yang menzhihar isterinya di antara kamu, (menganggap isterinya sebagai ibunya, padahal) Tiadalah isteri mereka itu ibu mereka. ibu-ibu mereka tidak lain hanyalah wanita yang melahirkan mereka. dan Sesungguhnya mereka sungguh-sungguh mengucapkan suatu Perkataan mungkar dan dusta. dan Sesungguhnya Allah Maha Pemaaf lagi Maha Pengampun.

وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا ذَلِكُمْ تُوعَظُونَ بِهِ وَاللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ خَبِيرٌ (٣)

Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, Maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur. Demikianlah yang diajarkan kepada kamu, dan Allah Maha mengetahui apa yang kamu kerjakan.

فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا فَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَإِطْعَامُ سِتِّينَ مِسْكِينًا ذَلِكَ لِتُؤْمِنُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَتِلْكَ حُدُودُ اللَّهِ وَلِلْكَافِرِينَ عَذَابٌ أَلِيمٌ (٤)

Barangsiapa yang tidak mendapatkan (budak), Maka (wajib atasnya) berpuasa dua bulan berturut-turut sebelum keduanya bercampur. Maka siapa yang tidak Kuasa (wajiblah atasnya) memberi Makan enam puluh orang miskin. Demikianlah supaya kamu beriman kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Itulah hukum-hukum Allah, dan bagi orang kafir ada siksaan yang sangat pedih.

Surat Al Ahzab Ayat 4


مَا جَعَلَ اللَّهُ لِرَجُلٍ مِنْ قَلْبَيْنِ فِي جَوْفِهِ وَمَا جَعَلَ أَزْوَاجَكُمُ اللائِي تُظَاهِرُونَ مِنْهُنَّ أُمَّهَاتِكُمْ وَمَا جَعَلَ أَدْعِيَاءَكُمْ أَبْنَاءَكُمْ ذَلِكُمْ قَوْلُكُمْ بِأَفْوَاهِكُمْ وَاللَّهُ يَقُولُ الْحَقَّ وَهُوَ يَهْدِي السَّبِيلَ (٤)

Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar).

4.      ILA’


Ila’ adalah sumpah suami dengan menyebut nama Allah swt atau sifatnya yang tertuju kepada istrinya untuk tidak mendekati istrinya, baik secara mutlak maupun dibatasi dengan ucapan selamanya, atau dibatasi empat bulan atau lebih. Contohnya “Demi Allah aku tidak akan menggauli istriku” atau “Demi Allah aku tidak akan mencampuri istriku selama lima bulan”. Dalilnya :

Surat Al Baqarah Ayat 226 - 227


لِلَّذِينَ يُؤْلُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ تَرَبُّصُ أَرْبَعَةِ أَشْهُرٍ فَإِنْ فَاءُوا فَإِنَّ اللَّهَ غَفُورٌ رَحِيمٌ (٢٢٦)

Kepada orang-orang yang meng-ilaa' isterinya diberi tangguh empat bulan (lamanya). kemudian jika mereka kembali (kepada isterinya), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

وَإِنْ عَزَمُوا الطَّلاقَ فَإِنَّ اللَّهَ سَمِيعٌ عَلِيمٌ (٢٢٧)

Dan jika mereka ber'azam (bertetap hati untuk) talak, Maka Sesungguhnya Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui.

Surat Al Mâ’idah Ayat 89


لا يُؤَاخِذُكُمُ اللَّهُ بِاللَّغْوِ فِي أَيْمَانِكُمْ وَلَكِنْ يُؤَاخِذُكُمْ بِمَا عَقَّدْتُمُ الأيْمَانَ فَكَفَّارَتُهُ إِطْعَامُ عَشَرَةِ مَسَاكِينَ مِنْ أَوْسَطِ مَا تُطْعِمُونَ أَهْلِيكُمْ أَوْ كِسْوَتُهُمْ أَوْ تَحْرِيرُ رَقَبَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ وَاحْفَظُوا أَيْمَانَكُمْ كَذَلِكَ يُبَيِّنُ اللَّهُ لَكُمْ آيَاتِهِ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٨٩)

Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi Dia menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpah yang kamu sengaja, Maka kaffarat (melanggar) sumpah itu, ialah memberi Makan sepuluh orang miskin, Yaitu dari makanan yang biasa kamu berikan kepada keluargamu, atau memberi pakaian kepada mereka atau memerdekakan seorang budak. barang siapa tidak sanggup melakukan yang demikian, Maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). dan jagalah sumpahmu. Demikianlah Allah menerangkan kepadamu hukum-hukum-Nya agar kamu bersyukur (kepada-Nya).

5.      LI’AN


Li’an adalah sumpah yang diucapkan oleh suami ketika ia menuduh istrinya berbuat zina dengan empat kali kesaksian bahwa ia termasuk orang yang benar dalam tuduhannya, kemudian pada kesaksian yang kelima disertai pernyataan bahwa ia bersedia menerima laknat Allah jika ia berdusta dalam tuduhannya itu. Dalilnya :

Surat An - Nur Ayat 6 - 9


وَالَّذِينَ يَرْمُونَ أَزْوَاجَهُمْ وَلَمْ يَكُنْ لَهُمْ شُهَدَاءُ إِلا أَنْفُسُهُمْ فَشَهَادَةُ أَحَدِهِمْ أَرْبَعُ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الصَّادِقِينَ (٦)

Dan orang-orang yang menuduh isterinya (berzina), Padahal mereka tidak ada mempunyai saksi-saksi selain diri mereka sendiri, Maka persaksian orang itu ialah empat kali bersumpah dengan nama Allah, Sesungguhnya Dia adalah Termasuk orang-orang yang benar.

وَالْخَامِسَةُ أَنَّ لَعْنَةَ اللَّهِ عَلَيْهِ إِنْ كَانَ مِنَ الْكَاذِبِينَ (٧)

Dan (sumpah) yang kelima: bahwa la'nat Allah atasnya, jika Dia Termasuk orang-orang yang berdusta.

وَيَدْرَأُ عَنْهَا الْعَذَابَ أَنْ تَشْهَدَ أَرْبَعَ شَهَادَاتٍ بِاللَّهِ إِنَّهُ لَمِنَ الْكَاذِبِينَ (٨)

Istrinya itu dapat dihindarkan dari hukuman oleh sumpahnya sebanyak empat kali atas nama Allah Sesungguhnya suaminya itu benar-benar termasuk orang-orang yang dusta.

وَالْخَامِسَةَ أَنَّ غَضَبَ اللَّهِ عَلَيْهَا إِنْ كَانَ مِنَ الصَّادِقِينَ (٩)

Dan (sumpah) yang kelima: bahwa laknat Allah atasnya jika suaminya itu termasuk orang-orang yang benar.













Ayat Ayat Ahkam tentang Pembunuhan (Al Qatlu)

Ayat Ayat Ahkam tentang Pembunuhan (Al Qatlu)

Ayat Ayat Ahkam adalah Ayat Ayat yang membahas tentang hukum - hukum Allah swt dalam Al Quran. Pada kesempatan kali ini ayat ayat ahkam yang akan kami share adalah ayat ayat yang membahas tentang pembunuhan. Tulisan ini hanya akan memberikan dalil-dalil Al Quran tentang pembunuhan, hanya lafadz dan artinya bukan disertai tafsirnya. Berikut surat - surat yang membahas tentang pembunuhan dalam Al Qur’an:

1.      Surat Al Baqarah ayat 178


يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ (١٧٨)

“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka Barangsiapa yang mendapat suatu pema'afan dari saudaranya, hendaklah (yang mema'afkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi ma'af) membayar (diat) kepada yang memberi ma'af dengan cara yang baik (pula). yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barangsiapa yang melampaui batas sesudah itu, Maka baginya siksa yang sangat pedih.”

Qishaash ialah mengambil pembalasan yang sama. qishaash itu tidak dilakukan, bila yang membunuh mendapat kema'afan dari ahli waris yang terbunuh Yaitu dengan membayar diat (ganti rugi) yang wajar. pembayaran diat diminta dengan baik, umpamanya dengan tidak mendesak yang membunuh, dan yang membunuh hendaklah membayarnya dengan baik, umpamanya tidak menangguh-nangguhkannya. bila ahli waris si korban sesudah Tuhan menjelaskan hukum-hukum ini, membunuh yang bukan si pembunuh, atau membunuh si pembunuh setelah menerima diat, Maka terhadapnya di dunia diambil qishaash dan di akhirat Dia mendapat siksa yang pedih.

2.      Surat Al Baqarah ayat 179


وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (١٧٩)

“Dan dalam qishaash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, Hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.”

3.      Surat An Nisaa’ ayat 92


وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ أَنْ يَقْتُلَ مُؤْمِنًا إِلا خَطَأً وَمَنْ قَتَلَ مُؤْمِنًا خَطَأً فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ إِلا أَنْ يَصَّدَّقُوا فَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ عَدُوٍّ لَكُمْ وَهُوَ مُؤْمِنٌ فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ وَإِنْ كَانَ مِنْ قَوْمٍ بَيْنَكُمْ وَبَيْنَهُمْ مِيثَاقٌ فَدِيَةٌ مُسَلَّمَةٌ إِلَى أَهْلِهِ وَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ تَوْبَةً مِنَ اللَّهِ وَكَانَ اللَّهُ عَلِيمًا حَكِيمًا (٩٢)

“Dan tidak layak bagi seorang mukmin membunuh seorang mukmin (yang lain), kecuali karena tersalah (tidak sengaja)1, dan Barangsiapa membunuh seorang mukmin karena tersalah (hendaklah) ia memerdekakan seorang hamba sahaya yang beriman serta membayar diat2 yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh itu), kecuali jika mereka (keluarga terbunuh) bersedekah3. jika ia (si terbunuh) dari kaum (kafir) yang ada Perjanjian (damai) antara mereka dengan kamu, Maka (hendaklah si pembunuh) membayar diat yang diserahkan kepada keluarganya (si terbunuh) serta memerdekakan hamba sahaya yang beriman. Barangsiapa yang tidak memperolehnya4, Maka hendaklah ia (si pembunuh) berpuasa dua bulan berturut-turut untuk penerimaan taubat dari pada Allah. dan adalah Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”

1.      Seperti: menembak burung terkena seorang mukmin.
2.      Diat ialah pembayaran sejumlah harta karena sesuatu tindak pidana terhadap sesuatu jiwa atau anggota badan.
3.      Bersedekah di sini Maksudnya: membebaskan si pembunuh dari pembayaran diat.
4.     Maksudnya: tidak mempunyai hamba; tidak memperoleh hamba sahaya yang beriman atau tidak mampu membelinya untuk dimerdekakan. menurut sebagian ahli tafsir, puasa dua bulan berturut-turut itu adalah sebagai ganti dari pembayaran diat dan memerdekakan hamba sahaya.

4.      Surat An Nisaa’ ayat 93


وَمَنْ يَقْتُلْ مُؤْمِنًا مُتَعَمِّدًا فَجَزَاؤُهُ جَهَنَّمُ خَالِدًا فِيهَا وَغَضِبَ اللَّهُ عَلَيْهِ وَلَعَنَهُ وَأَعَدَّ لَهُ عَذَابًا عَظِيمًا (٩٣)

“Dan Barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja Maka balasannya ialah Jahannam, kekal ia di dalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukinya serta menyediakan azab yang besar baginya.”

5.      Surat Al Maidah ayat 32


مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ كَتَبْنَا عَلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ أَنَّهُ مَنْ قَتَلَ نَفْسًا بِغَيْرِ نَفْسٍ أَوْ فَسَادٍ فِي الأرْضِ فَكَأَنَّمَا قَتَلَ النَّاسَ جَمِيعًا وَمَنْ أَحْيَاهَا فَكَأَنَّمَا أَحْيَا النَّاسَ جَمِيعًا وَلَقَدْ جَاءَتْهُمْ رُسُلُنَا بِالْبَيِّنَاتِ ثُمَّ إِنَّ كَثِيرًا مِنْهُمْ بَعْدَ ذَلِكَ فِي الأرْضِ لَمُسْرِفُونَ (٣٢)

“Oleh karena itu Kami tetapkan (suatu hukum) bagi Bani Israil, bahwa: Barangsiapa yang membunuh seorang manusia, bukan karena orang itu (membunuh) orang lain1, atau bukan karena membuat kerusakan dimuka bumi, Maka seakan-akan Dia telah membunuh manusia seluruhnya2. Dan Barangsiapa yang memelihara kehidupan seorang manusia, Maka seolah-olah Dia telah memelihara kehidupan manusia semuanya. dan Sesungguhnya telah datang kepada mereka Rasul-rasul Kami dengan (membawa) keterangan-keterangan yang jelas, kemudian banyak diantara mereka sesudah itu3 sungguh-sungguh melampaui batas dalam berbuat kerusakan dimuka bumi.”

1.      Yakni: membunuh orang bukan karena qishaash.
2. Hukum ini bukanlah mengenai Bani Israil saja, tetapi juga mengenai manusia seluruhnya. Allah memandang bahwa membunuh seseorang itu adalah sebagai membunuh manusia seluruhnya, karena orang seorang itu adalah anggota masyarakat dan karena membunuh seseorang berarti juga membunuh keturunannya.
3.      Ialah: sesudah kedatangan Rasul membawa keterangan yang nyata.

6.      Surat Al Maidah ayat 45


وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالأنْفَ بِالأنْفِ وَالأذُنَ بِالأذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (٤٥)

"Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At Taurat) bahwasanya jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka (pun) ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan (hak kisas) nya, Maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim."

7.      Surat Al Furqan ayat 68


وَالَّذِينَ لا يَدْعُونَ مَعَ اللَّهِ إِلَهًا آخَرَ وَلا يَقْتُلُونَ النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ وَلا يَزْنُونَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ يَلْقَ أَثَامًا (٦٨)

“Dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan yang lain beserta Allah dan tidak membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan (alasan) yang benar, dan tidak berzina, barang siapa yang melakukan yang demikian itu, niscaya Dia mendapat (pembalasan) dosa(nya).”

8.      Surat Al An’aam ayat 151


قُلْ تَعَالَوْا أَتْلُ مَا حَرَّمَ رَبُّكُمْ عَلَيْكُمْ أَلا تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا وَلا تَقْتُلُوا أَوْلادَكُمْ مِنْ إِمْلاقٍ نَحْنُ نَرْزُقُكُمْ وَإِيَّاهُمْ وَلا تَقْرَبُوا الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَلا تَقْتُلُوا النَّفْسَ الَّتِي حَرَّمَ اللَّهُ إِلا بِالْحَقِّ ذَلِكُمْ وَصَّاكُمْ بِهِ لَعَلَّكُمْ تَعْقِلُونَ (١٥١)

“Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu Yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu karena takut kemiskinan, Kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar1. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”

1.      Maksudnya yang dibenarkan oleh syara' seperti qishash membunuh orang murtad, rajam dan sebagainya.