Sejarah
munculnya teologi islam tidak terlepas dari persoalan politik yang muncul
selepas wafatnya Rasulullah saw. Sejarah meriwayatkan bahwa abu bakar terpilih
setelah disetujui oleh masyarakat islam kala itu menjadi pengganti rasulullah
dalam mengepalai Negara. Kemudian setelah Abu Bakar wafat perannya digantikan
oleh Umar ibn Khattab, dan setelah Umar wafat digantikan oleh Usman bin ‘Affan.
Pada
masa pemerintahan Usman inilah mulai muncul persoalan politik disebabkan
tindakan usman yang lebih mementingkan keluarga untuk jabatan penting di
pemerintahannya. Ahli sejarah menggambarkan usman sebagai orang yang tak
sanggup menentang ambisi kaum keluarganya yang kaya raya dan berpengaruh. Di
Mesir salah satu contohnya, gubernur sebelumnya yakni Umar ibn al-As adalah
gubernur yang dipilih langsung oleh khalifah umar ibn Khattab harus digantikan
oleh Abdullah ibn Sa’d ibn Sarh. Dengan
tindakan tindakan politik yang dijalankan ini Usman bin Affan mulai kehilangan
kepercayaan dari para sahabat nabi yang selama ini mendukungnnya. Sebagai akibat dari kebijakan politiknya muncullah
pemberontakan dari Mesir, hingga akhirnya Usman terbunuh oleh para pemberontak
tersebut.
Setelah
Usman wafat Ali bin Abi Thalib muncul sebagai calon terkuat sebagai
penggantinya. Namun penolakan muncul dari para pemuka yang ingin menjadi
khalifah terutama Talhah dan Zubeir yang mendapat dukungan dari Aisyah. Situasi
ini mengakibatkan pertempuran yang terjadi di Irak pada tahun 656 M. pertempuran
ini pun dimenangkan Ali dengan terbunuhnya Talhah dan Zubeir. Tak sampai disitu
saja penolakan selanjutnya datang dari Muawiyyah, gubernur Damaskus yang
merupakan salah satu keluarga terdekat Usman. Sebagaimana yang dilakukan oleh
Talhah dan Zubeir ia tak mau mengakui Ali sebagai Khalifah. Ia juga menuntut kepada
Ali untuk menghukum para pembunuh Usman, bahkan ia menuduh Ali turut campur
soal pembunuhan itu. (Tarikh al-Tabari, 1963:7). Karena salah satu
pemuka pemberontak kala itu adalah Muhammad Ibn Abi Bakr, anak angkat dari Ali
bin Abi Thalib. (Tarikh al-Tabari, 1963: jilid IV hlm.353). Ali pun
tidak mengambil tindakan tegas terhadap para pemberontak itu, bahkan Muhammad
Ibn Abi Bakr diangkat menjadi Gubernur Mesir.
Akhirnya
terjadilah pertempuran antara pendukung Ali dan Muawiyyah di Siffin, dalam
pertempuran ini pasukan Ali berhasil mengalahkan pasukan Muawiyyah, namun
‘tangan kanan’ Muawiyah yakni Amr Ibn al-As yang terkenal pandai bernegosiasi meminta
berdamai dengan mengangkat Al Quran ke atas. Qurra’ yang ada di pasukan Ali
mendesak supaya menerima tawaran itu untuk diadakan perundingan diantara kedua
belah pihak. Maka Amr ibn al-As dari pihak Muawiyah dan Abu Musa al Asy’ari dari
pihak Ali mulai melakukan perundingan. Sejarah mencatat antara keduanya
terdapat pemufakatan untuk menjatuhkan kedua pemuka yang bertentangan yakni Ali
dan Muawiyah. Namun ketika mengumumkan hasil perundingan Amr bin al-As hanya
menyetujui dalam penjatuhan Ali, padahal sebelumnya Abu Musa telah mengumumkan
untuk menjatuhkan kedua belah pihak baik Ali maupun Muawiyah.
Seperti
yang telah disebutkan diawal persoalah teologi Islam tidak terlepas dari
persoalan politik yang terjadi setelah wafatnya Rasulullah saw. Sikap Ali
ketika menerima permintaan perundingan dari Amr Ibn al-As, meskipun dalam
keadaan terpaksa, tidak disetujui oleh sebagian pendukungnya. Mereka
berpendapat bahwa hal semacam itu tidak dapat diputuskan oleh perundingan
manusia. Putusan hanya datang dari Allah dengan kembali kepada hukum-hukum yang
ada dalam Al Quran.
Mereka
memandang Ali bin Abi Thalib telah berbuat salah, dan oleh karena itu mereka
meninggalkan barisannya. Golongan mereka inilah dalam sejarah islam terkenal
dengan nama Al Khawarij, yaitu orang yang keluar dan memisahkan diri. Karena
memandang Ali telah berbuat salah dan dosa, mereka akhirnya berbalik melawan
Ali.
Persoalan-persoalan
politik yang terjadi di antara kaum muslimin inilah yang menjadi penyebab
timbulnya persoalan-persoalan teologi. Yakni siapa yang kafir dan siapa yang
bukan kafir, dalam arti siapa yang telah keluar dari Islam dan siapa yang masih
tetap dalam Islam.
Khawarij
memandang bahwa Ali, Muawiyah, Amr Ibn al-As, Abu Musa al-Asy’ari dan yang
lainnya yang menerima usulan perundingan (arbitrase) adalah kafir, karena dalam
Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 44 menjelaskan:
إنَّا أَنْزَلْنَا التَّوْرَاةَ فِيهَا
هُدًى وَنُورٌ يَحْكُمُ بِهَا النَّبِيُّونَ الَّذِينَ أَسْلَمُوا لِلَّذِينَ
هَادُوا وَالرَّبَّانِيُّونَ وَالأحْبَارُ بِمَا اسْتُحْفِظُوا مِنْ كِتَابِ
اللَّهِ وَكَانُوا عَلَيْهِ شُهَدَاءَ فَلا تَخْشَوُا النَّاسَ وَاخْشَوْنِ وَلا
تَشْتَرُوا بِآيَاتِي ثَمَنًا قَلِيلا وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ
اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ (٤٤)
Sesungguhnya
Kami telah menurunkan kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang
menerangi), yang dengan kitab itu diputuskan perkara orang-orang Yahudi oleh
nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta
mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara Kitab-Kitab Allah dan mereka
menjadi saksi terhadapnya. karena itu janganlah kamu takut kepada manusia,
(tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan
harga yang sedikit. Barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang
diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al Maidah:
44)
Dari
ayat inilah mereka mengambil semboyan La hukma illa lillah (tidak ada hukum
selain dari Allah). Karena keempat pemuka Islam tersebut telah dipandang
kafir dalam arti telah keluar dari Islam atau murtad maka mereka harus dibunuh.
Maka kaum khawarij mengambil keputusan untuk membunuh mereka berempat, tetapi
menurut sejarah hanya Ali bin Abi Thalib lah yang terbunuh.
Lambat
laun kaum Khawarij pecah menjadi beberapa sekte. Konsep kafir turut pula
mengalami perubahan. Yang dipandang kafir bukan lagi hanya orang yang tidak
menentukan hukum dengan Al Quran, tetapi orang yang berbuat dosa besar juga
dipandang kafir. Persoalan orang berbuat dosa inilah kemudian mempunyai
pengaruh besar dalam pertumbuhan teologi selanjutnya dalam Islam. Yakni
masihkah ia dipandang orang mukmin ataukah ia sudah menjadi kafir karena
berbuat dosa besar itu.
Persoalan
tersebut menimbulkan tiga aliran teologi dalam Islam. Pertama aliran khawarij
yang menganggap bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir dalam arti keluar
dari Islam atau murtad, oleh karena itu ia wajib dibunuh. Aliran kedua yaitu
aliran Murjiah yang menegaskan bahwa orang yang berdosa besar tetap masih
mukmin dan bukan kafir. Adapun mengenai dosa yang dilakukannya, terserah kepada
Allah swt untuk mengampuni atau tidak mengampuninya. Aliran yang ketiga yakni
kaum Mu’tazilah, bagi mereka orang yang berdosa besar bukan kafir tetapi bukan
pula mukmin. Dengan kata lain mengambil posisi diantara mukmin dan kafir atau almanzilah
bain al-manzilatain.
Selain
itu muncul pula dalam Islam aliran teologi yang dikenal dengan al qadariah dan
al jabariah. Aliran qadariah adalah aliran yang menganggap bahwa manusia
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya atau free will dan free
act. Sementara jabariah adalah aliran yang menganggap bahwa manusia tidak
mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Manusia dalam segala perbuatannya,
menurut paham jabariah, bertindak dengan kehendak tuhan atau disebut predestination.
Perkembangan
selanjutnya, pada masa dinasti bani Abbasiyyah buku-buku filsafat dan ilmu
pengetahuan dari Yunani banyak diterjemahkan kedalam bahasa Arab. Dengan banyaknya
buku terjemahan dari Yunani menjadikan aliran Mu’tazilah terpengaruh oleh
pemakaian rasio atau akal dalam paham teologinya, karena rasio atau akal mempunyai
kedudukan yang tinggi dalam kebudayaan Yunani kuno. Sehingga aliran Mu’tazilah
mengambil corak teologi liberal, namun meskipun aliran Mu’tazilah banyak
menggunakan rasio, mereka tidak meninggalakan wahyu. Dengan demikian jika
dikaitkan dengan paham qadariah dan jabariah, maka aliran Mu’tazilah juga
mengambil paham qadariah, karena aliran Mu’tazilah percaya pada kekuatan dan
kemerdekaan akal untuk berpikir dan berkehendak.
Aliran
Mu’tazilah yang bercorak liberal ini mendapat tantangan keras dari golongan tradisional
Islam, terutama golongan Hambali, pengikut dari mazhab Ibn Hambal. Pelawanan tersebut
kemudian melahikan bentuk aliran teologi tradisional yang disusun oleh Abu
Hasan Al Assy’ari (935). Al Assy’ari sendiri pada mulanya adalah seorang mu’tazilah,
tetapi kemudian, menurut riwayatnya setelah melihat dalam mimpi bahwa ajaran-ajaran
mu’tazilah dicap Nabi Muhammad sebagai ajaran-ajaran yang sesat, al-Assy’ari
meninggalkan ajaran-ajaran itu dan membentuk ajaran baru yang terkenal dengan
nama teologi al Asy’ariah.
Disamping
aliran Asy’ariah timbul pula di Samarkand suatu aliran yang bermaksud juga
menentang aliran Mu’tazilah dan didirikan oleh Abu Mansur Muhammad al Maturidi. Alian ini kemudian
dikenal dengan nama teologi al Maturidiah. Aliran Maturidiah tidaklah
setradisional aliran Asy’ariah, akan tetapi tidak pula bersifat seliberal Mu’tazilah.
Sebenarnya aliran ini terbagi dalam dua cabang Samarkand yang bersifat agak
liberal dan cabang Bukhara yang bersifat tradisional.
Dengan
demikian aliran-aliran teologi penting yang timbul dalam Islam ialah aliran
Khawarij, Murjiah, Mu’tazilah, Asy’ariah dan Maturidiah. Aliran-aliran Khawarij,
Murjiah, dan Mu’tazilah tak mempunyai wujud lagi kecuali dalam sejarah. Yang
masih ada sampai sekarang ialah aliran-aliran Asy’ariah dan Maturidiah, dan
keduanya disebut Ahl Sunnah wa al Jamaah. Aliran Maturidiah banyak dianut oleh
ummat Islam yang bermazhab Hanafi, sedangkan aliran Asy’ariah pada umumnya
dipakai oleh umat sunni lainnya.
Ingredients:
Al Qur’anul Karim
Harun
Nasution, Teologi Islam: aliran-aliran, sejarah dan analisa perbandingan
Cet. 5 (Jakarta: UI Press, 2012)