Nullum
Delictum Nulla Poena Sine Prae Via Lege, merupakan pepatah latin
dari Von Feurbach, seorang pakar hukum pidana asal Jerman yang ditulis dalam
bukunya Lehrbuch Des Peinlinchen Recht. Nullum Delictum Nulla Poena
Sine Prae Via Lege memiliki arti tidak ada delik dan tidak ada pidana tanpa
ada peraturan terlebih dahulu. Dalam bahasa Belanda terkenal dengan istilah ‘geen
straf zonder schuld’ atau tiada pidana tanpa kesalahan atau terkenal dengan
nama Asas Legalitas dalam pasal 1 ayat 1 KUHP. (Pipin Syarifin, 2000: 27)
Asal
Legalitas mengandung 3 pengertian yaitu:
1. Tidak ada perbuatan
yang dilarang atau diancam dengan pidana kalau hal itu tidak terlebih dahulu
dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang.
2.
Untuk menentukan
adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (qiyas).
3.
Aturan-aturan hukum
pidana tidak berlaku surut.
Dari
ketentuan di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa pidana yang
bersangkutan harus ditentukan serta dicantumkan dalam undang-undang. Akibat Asas
Legalitas ini, seseorang dapat dihukum apabila ia melakukan suatu perbuatan
yang oleh hukum dan peraturan telah disebut secara tegas sebagai pelanggaran
ketertiban umum. Jadi, ada kemungkinan seseorang melakukan suatu perbuatan yang
pada hakikatnya merupakan kejahatan, tetapi karena tidak disebutkan oleh hokum
sebagai suatu pelanggaran ketertiban umum, ia menjadi tidak terhukum.
Tanpa
kita sadari asas legalitas ini ternyata telah jauh ada sebelumnya sejak
diturunnya Al Qur’an kepada Rasulullah saw. Berikut ayat-ayat yang menyiratkan
asa legalitas dalam Al Qur’an:
Surat
Al Isra’ ayat 15
مَنِ اهْتَدَى فَإِنَّمَا يَهْتَدِي
لِنَفْسِهِ وَمَنْ ضَلَّ فَإِنَّمَا يَضِلُّ عَلَيْهَا وَلا تَزِرُ وَازِرَةٌ
وِزْرَ أُخْرَى وَمَا كُنَّا مُعَذِّبِينَ حَتَّى نَبْعَثَ رَسُولا (١٥)
Barangsiapa yang berbuat sesuai dengan hidayah
(Allah), Maka Sesungguhnya Dia berbuat itu untuk (keselamatan) dirinya sendiri;
dan Barangsiapa yang sesat Maka Sesungguhnya Dia tersesat bagi (kerugian)
dirinya sendiri. dan seorang yang berdosa tidak dapat memikul dosa orang lain,
dan Kami tidak akan meng'azab sebelum Kami mengutus seorang rasul.
Surat Al Qashash ayat 59
وَمَا كَانَ رَبُّكَ مُهْلِكَ الْقُرَى
حَتَّى يَبْعَثَ فِي أُمِّهَا رَسُولا يَتْلُو عَلَيْهِمْ آيَاتِنَا وَمَا كُنَّا
مُهْلِكِي الْقُرَى إِلا وَأَهْلُهَا ظَالِمُونَ (٥٩)
Dan tiadalah Tuhanmu membinasakan kota-kota,
sebelum Dia mengutus di ibukota itu seorang Rasul yang membacakan ayat-ayat
Kami kepada mereka; dan tidak pernah (pula) Kami membinasakan kota-kota;
kecuali penduduknya dalam Keadaan melakukan kezaliman.
Surat Al An’am ayat 19
قُلْ أَيُّ شَيْءٍ أَكْبَرُ شَهَادَةً قُلِ
اللَّهُ شَهِيدٌ بَيْنِي وَبَيْنَكُمْ وَأُوحِيَ إِلَيَّ هَذَا الْقُرْآنُ
لأنْذِرَكُمْ بِهِ وَمَنْ بَلَغَ أَئِنَّكُمْ لَتَشْهَدُونَ أَنَّ مَعَ اللَّهِ
آلِهَةً أُخْرَى قُلْ لا أَشْهَدُ قُلْ إِنَّمَا هُوَ إِلَهٌ وَاحِدٌ وَإِنَّنِي
بَرِيءٌ مِمَّا تُشْرِكُونَ (١٩)
Katakanlah: "Siapakah yang lebih kuat
persaksiannya?" Katakanlah: "Allah". Dia menjadi saksi antara
aku dan kamu. dan Al Quran ini diwahyukan kepadaku supaya dengan Dia aku
memberi peringatan kepadamu dan kepada orang-orang yang sampai Al-Quran
(kepadanya). Apakah Sesungguhnya kamu mengakui bahwa ada tuhan-tuhan lain di
samping Allah?" Katakanlah: "Aku tidak mengakui." Katakanlah:
"Sesungguhnya Dia adalah Tuhan yang Maha Esa dan Sesungguhnya aku berlepas
diri dari apa yang kamu persekutukan (dengan Allah)".
Ayat-ayat tersebut dengan jelas menyebutkan bahwa
tidak ada azab atau jarimah (tindak pidana), kecuali sudah ada penjelasan, dan
tidak ada hukuman kecuali sudah ada pemberitahuan.
Berdasarkan ketentuan
ayat-ayat tersebut, para ahli hukum membuat kaidah yang berbunyi:
1.
Sebelum ada ketentuan nash, tak ada hukum bagi perbuatan orang-orang
berakal.
2.
Pada asalnya semua perkara dan semua perbuatan diperbolehkan. (Marsum,
1979: 49).
Dari kedua kaidah tersebut, dapat dipahami bahwa
perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak dipandang sebagai jarimah, kecuali
bila ada nash yang jelas melarang perbuatan tersebut dan sikap tidak berbuat
itu. Apabila tidak ada nash seperti itu, tidak ada tuntutan atau hukuman
terhadap pelakunya. Dengan demikian dapat disimpulkan dari kedua kaidah
tersebut bahwa tidak ada jarimah dan hukuman, kecuali dengan suatu nash.
Asas
legalitas pada hukum pidana Islam sudah ada sejak Al Qur’an diturunkan kepada
Nabi Muhammad saw. Jadi asas ini telah mendahului hukum positif yang baru
dikenal pada abad ke 18 M, yaitu sesudah revolusi Perancis. Asas ini kemudian
dimasukkan dalam “pernyataan hak-hak manusia” yang dikeluarkan pada tahun 1789
dan kemudian diikuti oleh negara-negara lain. Sebelumnya hakim-hakim mempunyai
kekuatan besar. Mereka dapat menganggap suatu perbuatan sebagai pidana meskipun
undang-undang tidak melarangnya, sehingga kekuasaan yang semena-mena dan mutlak
ini menjadi salah satu faktor pecahnya revolusi.
Sesudah
revolusi asas legalitas diterapkan pada hukum Perancis. Asas ini kemudian
diikuti oleh Negara-negara lain. Pada mulanya asas legalitas yang diterapkan
pada hukum Perancis ini teliti sekali, yaitu tiap-tiap perbuatan pidana
memiliki undang-undang dan telah ditentukan hukumnya. Kekuatan hakim tidak
lebih mengucapkan keputusan hukuman. Penguasa eksekutif juga tidak berkuasa
memberikan ampunan atau mengurangi hukuman, kekuasaannya hanya terbatas pada
pelaksanaan hukuman. Penguasa perundang-undanganlah yang berkuasa, mereka
mengambil sistem batas tertinggi dan terendah pada tiap-tiap hukuman yang boleh
dipilih oleh hakim atau dijatuhkan keduanya. Namun karena pengalaman dan
kebutuhan masyarakat, cara penerapan asas legalitas itu menjadi berkembang,
yaitu memberikan kekuasaan kepada hakim untuk menghentikan pelaksanaan hukuman.
Pengasa eksekutif juga diberi kekuasaan untuk memberi ampunan, mengurangi, dan
memberikan si-terhukum dengan syarat-syarat tertentu. Asas legalitas masih
dijunjung tinggi, tetapi perluasan dalam cara menjatuhkan hukuman yang sesuai
tetap diperbolehkan.
Sejak
permulaan abad ke 20 M, asas legalitas mulai dikritik oleh para pakar hukum,
dengan alas an bahwa asas tersebut tidak mampu menghadapi kebutuhan-kebutuhan
masyarakat, bahkan dapat mengorbankan kepentingan masyarakat. Pasal-pasal
didalamnya tidak mampu menghadapi peristiwa-peristiwa yang mengganggu
ketertiban masyarakat, karena orang-orang yang melanggar hukum mempunyai
macam-macam cara untuk menghindar dari ketentuan hukum. Untuk itu, perlu dibuat
undang-undang baru untuk melindungi masyarakat dari kejahatannya.
Kritik
terhadap asas legalitas ini mempunyai pengaruh yang cukup besar sehingga sistem
hukum pidana Jerman sejak tahun 1935 memberi kekuasaan kepad hakim untuk
mengnggap suatu perbuatan sebagai pidana jika perbuatan itu merugikan
masyarakat jerman. Sejak tahun 1926 sistem hukum pidan Rusia tidak lagi memakai
asas legalitas, sedangkan sistem hukum pidana Denmark membolehkan hakim untuk
menjatuhkan hukuman terhadap suatu perbuatan yang dipersamakan dengan perbuatan
yang dilarang. Dan sistem hukum pidan Inggris memakai cara yang mirip dengan
sistem ta’zir dalam masyarakat islam, yaitu tidak terikat kuat oleh asas
legalitas.
Pada
akhirnya para ahli hukum pidana memandang bahwa dalam menentukan jenis pidana,
tidak perlu menyebut tiap-tiap pidana secara terperinci. Tetapi cukup dengan
menyebutkan penentuan secara umum terhadap perbuatan-perbuatan yang dilarang.
Sehingga satu ketentuan dapat mencakup lebih dari satu pidana dan si pelaku
tidak dapat lepas dari ketentuan pidana yang bersifat elastis.
Dalam
menentukan hukumannya, cukup dengan menyebutkan hukuman tertinggi sehingga
hakim mempunyai kekuasaan luas dalam menjatuhkan hukuman. Negara Indonesia juga
mengikuti asas legalitas sebagaimana tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP.
Dalam
hukum pidana Islam, ada tiga cara dalam menerapkan asas, legalitas yaitu:
1. Pada jarimah-jarimah yang gawat dan sangat mempengaruhi keamanan dan
ketentraman masayarakat, yaitu jarimah-jarimah hudud, dan qisas diyat,
asas legalitas dilaksanakan teliti sekali, sehingga tiap-tiap jarimah
hukumannya dicantumkan satu-satu.
2.
Pada jarimah-jarimah yang tidak begitu berbahyaa, yaitu jarimah-jarimah
ta’zir pada umumnya, syara’ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legalitas
dari segi hukuman, dan untuk hukuman jarimah-jarimah tersebut syara’ hanya
menyediakan sejunlah hukuman untuk dipilih oleh hakim, yaitu hukuman yang
sesuai bagi peristiwa pidana yang dihadapinya.
3.
Pada jarimah-jarimah ta’zir yang diancamkan hukuman untuk kemaslahatan
umum, syara’ memberi kelonggaran dalam penerapan asas legaliatas dari segi
penentuan macamnya jarimah, karena syari’ah hanya membuat nash (ketentuan) umum
yang dapat mencakup setiap perbuatan yang mengganggu kepentingan dan
ketentraman masyarakat. (Ahmad Hanafi, 1986: 77-78).
Adapun dalam hukum pidana positif cara penerapan
asas legalitas untuk semua pidana adalah sama (kaidah pertama), namun hal ini
menyebabkan para hakim tidak mau menjatuhkan hukuman berat terhadap perbuatan
pidana yang ringan setelah mereka mengingat aturan-aturan pidana yang termasuk
kejahatan dan yang termasuk pelanggaran. Dengan demikian, hukum pidana positif
menggunakan kaidah kedua, yaitu dengan mempersempit kekuasaan hakim dalam
memilih hukuman dan dalam menentukan tinggi rendahnya hukuman yang diterapkan
secara umum.
Dari ketentuan di atas persamaan hukum pidana islam
dengan hukum pidana positif yakni dalam memegang prinsip, yaitu tidak ada
jarimah dan tidak ada hukuman, kecuali atas kekuatan aturan pidana dalam nash
(undang-undang).
Perbedaan dari keduanya terdapat dari segi hukuman,
hukum pidana islam menentukan jenis hukuman secara jelas (diterangkan dalam Al
Qur’an), dalam hal ini hakim tidak mungkin menciptakan hukuman dari diri
sendiri, sedangkan pada hukum pidana positif, tiap perbuatan pidana disediakan
satu atau dua macam hukuman yang mempunyai batas tertinggi dan batas terendah
sehingga hakim dapat menjatuhkan dua hukuman atau satu hukuman yang tereletak
antara kedua batas tersebut. Dari segi penerapannya, asas legalitas pada hukum
pidana islam telah ditetapkan sejak Al Quran diturunkan, sedangkan asa
legalitas pada hukum pidana positif diterapkan pada abad ke-18, yaitu sesudah revolusi
Prancis.
Ingredients:
Al Qur’anul Karim
Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia
(Bandung: CV Pustaka Setia, 2000)
Ahmad Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Cet.
3 (Jakarta: Bulan Bintang,1986)
Marsum, Jinayat (Yogyakarta: Bagian Penerbit
Fakultas Hukum UII, 1979)
2 komentar
Thanks informaasinya gan
https://www.rerekonsultanjakarta.co.id/
▷ Casino site: Get bonus & play slots online for free
Top casino sites ⭐ Online casino games · choegocasino New febcasino casino players only · All casinos with deposit bonus · Play with Bitcoin · Bitcoin · No deposit bonus 제왕 카지노 · Best Bitcoin
EmoticonEmoticon