Tujuan diciptakannya manusia oleh Allah swt adalah untuk beribadah kepadaNya. Ibadah ini tertuang dalam rukun islam yang lima. Dalam menjalankan rukun-rukun tersebut manusia diwajibkan dalam keadaan suci ketika melaksanakannya. Terutama sekali sholat, sholat adalah ibadah yang wajib dilaksanakan setiap hari dalam 5 waktu yang telah ditentukan, yakni shubuh, dzuhur, maghrib, dan isya. Sebelum melaksanakan sholat manusia harus dalam keadaan suci terlebih dahulu. Baik suci secara jasmani maupun rohani, suci secara jasmani bisa didapatkan dengan berwudhu atau tayammum atau mandi janabat. Sedangkan suci secara rohani dapat dilakukan dengan bertobat. Allah swt berfirman dalam surat Al Baqarah 222:
… إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ
الْمُتَطَهِّرِينَ (٢٢٢)
"Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertaubat dan
menyukai orang-orang yang mensucikan diri.”
Dalam surat Al Baqarah ayat 22 tersebut perlu digaris bawahi kata
bertaubat dan bersuci atau mensucikan diri. Hal ini tentu memberikan
petunjuk kepada kita, ketika hendak menghadap kepadaNya maka harus dalam
keadaan suci. Baik suci secara jasmani yakni dari hadas kecil maupun besar
maupun suci secara rohani yakni suci dari dosa.
Bersuci
biasanya disebut juga dengan thaharah. Thaharah adalah upaya untuk membersihkan
badan dari hadas, baik hadas kecil maupun hadas besar. Hadas kecil dapat
disucikan dengan cara berwudhu atau tayamum sedangkan hadas besar dapat
disucikan dengan mandi janabat. Thaharah merupakan syarat bagi siapapun yang
hendak beribadah kepada Allah swt. Seperti hendak melaksanakan sholat atau kewajiban
yang lain. Karena tidak sah ibadah seseorang jika ia tidak bersuci terlebih
dahulu, yakni dengan berwudhu, mandi janabat atau tayamum.
Kewajiban
melaksanakan wudhu dan mandi janabat adalah didasarkan pada firman Allah swt
dalam surat Al Ma’idah ayat 6:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلاةِ
فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ وَامْسَحُوا
بِرُءُوسِكُمْ وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ وَإِنْ كُنْتُمْ جُنُبًا
فَاطَّهَّرُوا وَإِنْ كُنْتُمْ مَرْضَى أَوْ عَلَى سَفَرٍ أَوْ جَاءَ أَحَدٌ
مِنْكُمْ مِنَ الْغَائِطِ أَوْ لامَسْتُمُ النِّسَاءَ فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً
فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ
مَا يُرِيدُ اللَّهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِنْ حَرَجٍ وَلَكِنْ يُرِيدُ
لِيُطَهِّرَكُمْ وَلِيُتِمَّ نِعْمَتَهُ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ (٦)
“Hai orang-orang
yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan
tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai
dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit
atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh
perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah
yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak
hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan
nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.”
Ayat
diatas merupakan perintah Allah swt yang mewajibkan melaksanakan thaharah
sebelum melaksanakan sholat, yaitu berwudhu, mandi janabat, dan tayamum sebagai
pengganti keduanya apabila tidak menemukan air, tidak boleh terkena air karena
sakit, atau sedang dalam perjalanan. Dalam hadist Rasulullah saw bersabda:
لَايَكْبَلُ اللهُ صَلَاةَ أَحَدِكُمْ إِذَأ أَحْدَسَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ
“Allah tidak menerima sholat salah seorang diantara kalian yang mempunyai hadas sampai ia berwudu terlebih dahulu.” (H.R. Bukhari Muslim, Abu Dawud, dan Tirmidzi).
Hadist
tersebut menetapkan kewajiban berwudhu bagi yang berhadas apabila hendak
melaksanakan sholat. Meskipun badan dan pakaian bersih, jika berhadas,
seseorang harus wudhu terlebih dahulu. Karena wudhu merupakan salah satu syarat
sah diterimanya sholat di sisi Allah swt.
Hal
yang penting dalam melakukan thaharah adalah air yang digunakan untuk bersuci.
Maka perlu diketahui jenis-jenis air menurut kajian fiqih yang dibedakan
sebagai berikut:
1. Air
Mutlak
Yakni
air yang suci dan menyucikan. Air inilah yang layak dipakai untuk berwudhu dan
mandi janabat. Air mutlak dapat berupa air hujan, es, salju, dan embun. Allah
swt berfirman dalam surat Al Anfal ayat 11 sebagai berikut:
إِذْ يُغَشِّيكُمُ النُّعَاسَ أَمَنَةً مِنْهُ وَيُنَزِّلُ
عَلَيْكُمْ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً لِيُطَهِّرَكُمْ بِهِ وَيُذْهِبَ عَنْكُمْ
رِجْزَ الشَّيْطَانِ وَلِيَرْبِطَ عَلَى قُلُوبِكُمْ وَيُثَبِّتَ بِهِ الأقْدَامَ
(١١)
“(ingatlah), ketika Allah menjadikan kamu mengantuk sebagai suatu penenteraman daripada-Nya, dan Allah menurunkan kepadamu hujan dari langit untuk mensucikan kamu dengan hujan itu dan menghilangkan dari kamu gangguan-gangguan syaitan dan untuk menguatkan hatimu dan mesmperteguh dengannya telapak kaki(mu).”
Surat Al Furqan
ayat 48 sebagai berikut:
وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ
الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً
طَهُورًا (٤٨)
“Dia lah yang
meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan
rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari langit air yang Amat bersih.”
Dalam hadist riwayat jama’ah, kecuali Imam Tirmidzi, Rasulullah saw
berdoa sebagai berikut:
اللّهُمَّ أَغْسِلْنِيْ مِنْ خَطَا يَايَ بِالْثَلْجِ وَاْلمَاءِ وَاْلبَرْدِ.
“Ya Allah sucikanlah aku dari kesalahan-kesalahanku dengan salju, air dan embun.”
Selain jenis air di atas, air mutlak yang suci dan mensucikan
adalah air laut. Rasulullah saw bersabda:
هُوَالطَّهُوْرُمَاؤُهُ اَلْحِلُّ مَيْتَتُهُ.
“Laut itu suci airnya halal bangkainya. (H.R Al Arba’ah)”
Air
yang dapat digunakan untuk bersuci, selain air yang telah disebutkan sebelumnya
adalah air sumur, air sungai, dan air yang mengalir di akar-akar pepohonan.
Yang paling utama dari air mutlak adalah air bersih yang belum berubah bau,
warna, dan rasanya.
2. Air Musta’mal
Yaitu
air yang telah digunakan atau air sisa yang digunakan untuk bersuci. Air bekas
boleh digunakan untuk bersuci sepanjang belum berubah warna, dan baunya,
kecuali jika air bekas itu telah kotor maka tidak layak digunakan untuk berwudhu.
Menurut Sayyid Sabiq, air musta’mal termasuk air yang suci dan mensucikan
karena Rasulullah saw pernah berwudhu dengan air bekas mandi janabat.
Supaya
terhindar dari ikhtilaf, kebolehan menggunakan air musta’mal untuk berwudhu,
syaratnya sama dengan air mutlak, yaitu air yang belum berubah warna dan
baunya. Imam Syafi’i berpendapat bahwa air yang masih suci dan menyucikan
adalah air yang melebihi dua qullah.
اِذَا
كَانَا اْلمَاءَ قُلّتَيْنِ لَمْ يُنَجِّسْهُ شَيْءٌ.
“Jika jumlah air telah cukup dua kullah, maka ia tidak dinajisi suatu apapun (H.R Al Khamsah).”
3. Air
Musyammas
Air
musyammas adalah air yang terjemur dalam bejana logam selain bejana emas atau
perak. Air ini suci dan menyucikan karena ia masih memiliki sifat air mutlak,
namun makruh untuk dipakai. Kemakruhan air tersebut karena dikhawatirkan akan
menimbulkan mudharat yakni penyakit kulit. Hal ini didasarkan dari teguran
Rasulullah saw kepada istrinya Siti Aisyah r.a. dalam hadist berikut:
عَنْ
عَا ئِشَةَ رَضِيَ اللَهُ عَنْهَا أَنَّهَا سَخَّنَتْ مَاءً فِى الشَّمْسِ. فَقَالَ
صَلَّى اللَهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَهَا : لَا تَفْعَلِيْ يَا حُمَيْرَاءَ فَاِنَّهُ
يُوْرِثُ اْلبَرَصَ.
“Dari Aisyah, sesungguhnya ia telah memanaskan air pada cahaya matahari, maka Rasuullah saw berkata kepadanya, ‘jangan engkau berbuat demikian, ya Aisyah sesungguhnya air yang dijemur itu dapat menimbulkan penyakit sopak’.”(H.R Baihaqi)
4.
Air Mutanajis
Air mutanajis adalah air yang telah tercampuri oleh
najis dan jumlahnya kurang dari dua qullah. Air jenis ini tidak bisa digunakan
untuk bersuci. Jika jumlahnya melebihi dua qullah, maka boleh digunakan untuk
bersuci selama airnya tidak berubah sifatnya yakni warna, bau dan rasanya. Ukuran
dua qullah sama dengan 216 liter atau jika dalam bentuk bak kurang lebih
panjang, lebar dan tingginya 60 cm. Rasulullah saw bersabda yang diriwayatkan
oleh Abdullah ibnu Umar:
إِذَا كَانَا اْلمَاءَ قُلَّتَيْنِ
لَمْ يَحْمِلْ اْلخَبَثَ.
“jika jumlah air telah mencapai dua qullah, maka ia tidak mengandung kotoran.” (H.R Al Arba’ah)
-Resep-
Bumbu:
Al Quran & Hadist
Bahan-Bahan:
Bulughul Maram min Adillatil Ahkam, Ibnu Hajar Al Asqalani. Cet. 1 Bandung: Penerbit Jabal, 2011
Fiqh Ibadah, Abdul Hamid & Beni Ahmad Saebani, Bandung: Pustaka Setia, 2009
Fiqh Sunnah jilid 1, Sayyid Sabiq, Bandung Al Ma'arif, 1992.
EmoticonEmoticon